Minggu, 27 Juli 2014

Jodoh (ku) #1



Apa yang terlintas dibenak Sahabat pertama kali ketika membaca judul tulisan ini??
Oohh.. Mungkin ada yang berpikir bahwa sang penulis akan berbagi tentang cerita jodohnya. Tentunya di sini aku takkan berbagi tentang cerita jodohku karena aku sendiri belum mengalaminya. Namun, aku akan berbagi tentang cerita jodoh(ku). “Ku” yang dimaksudkan di sini adalah orang yang sudah mengalami proses dalam menjemputjodohnya. Setiap kita mempunyai scenario hidup termasuk cerita jodoh yaitu bagaimana proses penjemputan jodoh masing-masing. Mungkin ada yang awalnya tak saling kenal akhirnya menikah. Atau ada juga yang sudah kenal sejak lama dan akhirnya menikah walaupun tak pernah menduga sebelumnya.

Perkenankan aku untuk mengutip perkataan Pak Mario Teguh yang SUPER SEKALI: “Jodoh itu di tangan Tuhan. Benar. Tapi jika Anda tidak meminta dan mengambil dariNYA, selamanya dia akan tetap di tangan Tuhan.
”Ya! Jodoh itu adalah bagian dari rezeki, perlu diusahakan, perlu diikhtiarkan.
Nah, proses ikhtiar dalam penjemputan jodoh inilah yang akan aku angkat dalam tulisan ini. Cerita Jodoh(ku), yang aku dapatkan dari sumber orang pertama dan orang kedua atau bahkan orang kesekian. Ada berbagai cerita yang aku angkat di sini yang semoga saja bisa menginspirasi dalam mengikhtiarkan penjemputan jodoh kita.

Cerita Jodoh(ku) part 1: Berawal dari Facebook
Ada seorang ikhwan yang profesinya sebagai seorang trainer menemukan jodohnya via Facebook. Bagaimana hal itu bermula? Mari aku ceritakan kisah tentang mereka. Bagi seorang trainer, menjaga silaturahim dengan orang-orang yang telah ditrainingnya adalah sebuah keniscayaan. Begitu pun dengan ikhwan trainer ini. Di setiap akhir training, ia selalu memberikan nama akun FBnya agar para peserta training bisa tetap menjaga silaturahim dengan sang trainer via FB.

Suatu hari, seperti biasa, ketika seorang trainer menulis status FB, pasti berbau hal- hal yang bisa memotivasi seseorang, seperti apa yang selama ini dilakukan mereka via training. Izinkan aku untuk mengutip sebuah lirik yang mungkin tak asing di telinga kita: “Berawal dari Facebook baruku.. Kau datang dengan cara tiba-tiba..”
Ya! Berawal dari sebuah status FB sang trainer yang begitu memotivasi para pembaca, ada salah seorang akhwat yang pernah menjadi peserta training yang mengomentari status tersebut. Intinya, sang akhwat tersentuh dengan kata-kata yang dituangkan sang trainer dalam statusnya. Dari situlah, sang trainer akhirnya berkunjung ke FB sang akhwat -karena merasa belum mengenal sang akhwat- hanya sekadar ingin mengingat-ingat mungkin sang akhwat pernah menjadi salah satu peserta trainingnya. Tak disangka, ketika memasuki halaman FB sang akhwat, ada sebuah rasa yang muncul dalam hati dan sebuah bisikan yang begitu halus dan berulang : “Aku yakin, dia jodohku..”. Interaksi dan komunikasi pun terjalin via FB hingga akhirnya sang trainer memutuskan untuk meminang sang akhwat menjadi istrinya. Gayung pun bersambut, sang akhwat menerima pinangan itu dan mereka menikah. Simple, isn’t it?

Cerita Jodoh(ku) part 2: Love at the first sight

Love at the first sight atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “cinta pada pandangan pertama”. Menurut penelitian para ilmuwan, cinta jenis ini sering terjadi pada laki-laki. Ketika seorang laki-laki melihat seorang perempuan dan dengan serta merta ada rasa cinta tumbuh dari sana. Itulah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama, ada suatu ketertarikan tertentu saat pertama kali melihat seorang
perempuan. Pada suatu agenda dakwah, yang tanpa hijab (pembatas antara ikhwan dan akhwat), seorang ikhwan -yang memang sedang mencari jodohnya- merasa menemukan jodohnya ketika ia melihat dari kejauhan ada seorang akhwat yang membuat jantungnya berdebar-debar dan muncullah bisikan dari hatinya: “Aha, dialah orangnya..”
Tentu, bagi aktivis dakwah ketika ada perasaan yang muncul terhadap lawan jenis, tak serta merta disampaikan secara langsung kepada yang bersangkutan. Sang ikhwan berjuang untuk mengikuti kata hatinya karena ada keyakinan yang mendalam bahwa akhwat itulah jodohnya. Karena ia pun sudah masuk dalam kategori ‘siap nikah’, maka tak ada kata lain selain untuk berta’aruf dengan sang akhwat. 

Berta'aruf >> Ia mencari tahu siapa Murabbiyah (guru ngaji) sang akhwat dan mencari tahu nomor HPnya. Allah pun memudahkan jalannya. Sang murabbiyah akhwat ternyata adalah orang yang sudah dikenalnya. Sang ikhwan akhirnya menghubungi sang murabbiyah dan menyatakan diri untuk berta’aruf dengan akhwat yang dimaksud. Sang akhwat yang tidak tahu menahu tentang sang ikhwan, akhirnya mengiyakan untuk melanjutkan proses ta’aruf, tentunya setelah istikharah panjangnya. Proses ta’aruf pun berlangsung, mulai pertemuan pertama, kedua, yang didampingi oleh guru ngaji masing-masing (tak berduaan), ada begitu banyak kecocokan, dan akhirnya pertemuan berlanjut ke pertemuan pihak keluarga masing-masing. Kedua pihak keluarga pun merasa cocok, tak ada masalah, hingga akhirnya sang ikhwan mengkhitbah (meminang) sang akhwat dan tanpa berlama- lama dalam proses, mereka pun menikah.
Barakallah..

Cerita Jodoh(ku) part 3: Halalkan saja..
Jika dua cerita di atas berkisah tentang dua orang yang awalnya belum saling kenal dalam menemukan jodohnya, maka pada cerita ketiga ini, aku menceritakan kisah yang sedikit berbeda, dua orang yang sudah saling kenal dan memang mereka berjodoh pada akhirnya. Cerita ini bermula dari tiga orang aktivis dakwah yang diamanahkan untuk pergi ke suatu kota untuk suatu tugas dakwah tertentu, untuk menetap agak lama di kota itu. Tiga orang ini terdiri dari dua akhwat dan satu ikhwan. Qadarullah, salah seorang akhwat tidak bisa pergi karena ada satu keperluan yang begitu mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Lantas bagaimana dengan tugas dakwah yang sudah diamanahkan kepada mereka bertiga? Akankah tetap berjalan dengan satu orang yang tidak ikut serta? Itu berarti hanya ada satu ikhwan dan satu akhwat yang akan pergi. Dan mereka berdua bukanlah mahramnya. Bukankah akan terjadi fitnah yang besar jika dua orang yang bukan mahramnya melakukan perjalanan bersama? Maka, mereka pun berkonsultasi kepada sang qiyadah. 

“Ustadz, bagaimana kami bisa pergi berdua saja karena kami bukan mahram? Adakah yang bisa menggantikan al-ukh yang tidak bisa pergi itu? Ataukah ustadz ada saran lain?”
Sang ustadz menjawab dengan mantap: “Ya sudah, halalkan saja..”. Akhirnya, mereka menikah dan melanjutkan perjalanan dakwah bersama. Subhanallah, inikah yang dinamakan ‘”menikah di jalan dakwah”?? Ketika hati tak lagi ragu, ketika dakwah menjadi alasan pernikahan mereka, bukan alasan lain yang bersifat duniawi.

Cerita Jodoh(ku) part 4: Ternyata jodohku dia..
Seorang ikhwan yang dikategorikan siap nikah, sedang berikhtiar menjemput jodohnya. Proposal nikah pun sudah diajukan kepada sang Murabbi untuk dicarikan pendamping hidup. Tak lama berselang, ta’aruf dengan seorang akhwat pun dilakukan. Namun, proses kandas di tengah jalan. Ta’aruf-ta’aruf berikutnya pun demikian, tak ada yang sampai pelaminan bahkan khitbah pun belum. Berkali-kali ta’aruf, rupanya sang ikhwan belum juga menemukan jodohnya. Hingga akhirnya pada suatu ketika, sang ikhwan ditawari seorang akhwat oleh sang Murabbi. Akhwat yang dimaksud tak lain tak bukan adalah adik kelasnya yang juga satu
organisasi dakwah. Proses ta’aruf yang dijalani begitu lancar dan berlanjut hingga kepelaminan.
“Ternyata jodohku dia..”, gumam sang ikhwan setelah pernikahan berlangsung. Mungkin akan ada suatu lintasan pikiran dalam benak sang ikhwan: “Andai saja dari dulu saya tahu kalo jodohku dia, dari awal aja proses dengan dia..”. Sayangnya, kita tak pernah tahu siapa jodoh kita sebelum kita benar-benar menemukannya dan menikah dengannya.

to be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar