Rabu, 21 Juni 2017

Qudwah

Juni 21, 2017 0 Comments
Kita dikejutkan berita penganiayaan siswa SD oleh temannya sendiri hingga meninggal. Kita dibuat merinding dengan beredarnya banyak video mesum dan kekerasan sesama siswa yang diunggah di sosial media. Kita bertanya-tanya, ada apa dengan anak-anak kita hari ini? Apa yang membuat mereka menjadi bertingkah demikian mengerikan?
Jangan buru-buru menyalahkan lingkungan jika anak-anak hari ini memiliki pribadi yang mengerikan. Ada baiknya kita berkaca. Apa yang sudah kita lakukan bagi pendidikan mereka?
Apa sesungguhnya yang membedakan pendidikan kita hari ini dengan pendidikan pada masa pendahulu ummat? Bukankah kita memiliki fasilitas yang lebih canggih dan lengkap? Bukankah kita sudah merancang begitu banyak metode pendidikan mutakhir? Tapi, kenapa kita masih belum bisa menghasilkan generasi dengan kualitas yang mendekati kualitas para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in?
Bisa jadi, hari ini, kita terlalu jumawa dengan hasil penelitian pendidikan yang serba mutakhir. Kita telah campakkan metode tarbiyatul aulad Rosul karena menganggapnya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Kita lupa, bahwa Rosul diutus menyampaikan risalah untuk manusia akhir zaman, dan tidak ada lagi risalah setelahnya. Artinya, ajaran Rosul pasti relevan sampai hari kiamat. Memang, bentuk tantangan tiap generasi berbeda. Tetapi, inti masalahnya sebenarnya sama. Pornografi, misalnya. Pada zaman Rosul dulu, pornografi mungkin hanya dapat diakses di tempat-tempat tertentu. Tapi, hari ini, pornografi dapat diakses di keramaian melalui gadget yang kita pegang. Jika dulu Rosul perintahkan kita menjaga pandangan atau shoum untuk membentengi diri, apakah nasihat itu tidak relevan lagi hari ini?
Ada apa dengan pendidikan kita hari ini? Bukankah kita sudah menemukan berbagai metode manajemen kelas yang atraktif untuk menarik minat belajar anak? Kenapa kita masih sulit melahirkan pribadi-pribadi yang indah seperti generasi terbaik ummat ini?
Jangan-jangan, kita terlampau sibuk mendekorasi pendidikan dengan berbagai metode mutakhir, tapi melupakan satu metode “kuno” yang sederhana tapi terbukti ampuh: qudwah. Ya. Bisa jadi, kita kaya temuan metode pendidikan mutakhir, tapi miskin qudwah atau keteladanan.
Pendidikan telah kita tarik dan persempit hanya sekadar transfer of knowledge yang kita lakukan dalam ruang-ruang kelas yang canggih. Mungkin, ini berhasil menjejalkan informasi dalam kepala anak didik. Tapi, karakter akan sulit ditransfer hanya melalui kata-kata.
Kita terlalu sibuk mengurus metode pembelajaran di kelas, dan melupakan waktu-waktu luang bersama anak didik kita. Kita lupa, bahwa anak didik mengamati kita tidak hanya dalam kelas, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari di luar kelas. Kita lalai, bahwa anak didik juga belajar dengan melihat apa yang kita lakukan. Bisa jadi, obrolan, senda gurau, gerak-gerik, curahan kasih sayang, cara kita menyapa dan mengelus mereka justru lebih berbekas dalam menanamkan karakter daripada ceramah-ceramah yang kita paksakan.
Jika kita cermati hadits-hadits, maka akan kita jumpai bahwa Rosul mendidik para sahabat tidak hanya di atas mimbar. Rosul justru banyak menempa jiwa para sahabat melalui keteladanan yang beliau tunjukkan dalam hidup sehari-hari. Keteladanan yang tulus, yang ikhlas, sehingga gelombangnya menggetarkan dada-dada para sahabat dan menjadi inspirasi yang kuat.
Rosul tidak memerintahkan para sahabat untuk berlemah lembut, kecuali beliau sudah melakukannya terlebih dulu. Rosul sudah bergelar al amin, sebelum beliau mengajarkan kejujuran pada para sahabat. Ketika Rosul menasihati para sahabatnya agar tidak cepat marah, beliau sudah terlebih dahulu menunjukkan kesabaran yang luar biasa.
Pendidikan melalui metode qudwah ini sebenarnya juga diteliti oleh para ahli psikologi abad ini. Bahkan, mereka merekomendasikannya sebagai salah satu metode belajar bagi anak. Hanya saja, istilah yang mereka gunakan bukan qudwah, tapi modeling (meniru). Ahli psikologi dan pendidikan merasa  berhasil merumuskan metode ini. Padahal, para pendahulu kita sudah melakukannya lebih dari seribu tahun lalu.
Kita mendamba anak didik kita menjadi pribadi-pribadi berkarakter robbani dan unggul. Tapi, kita sendiri tidak bisa menunjukkan secara nyata seperti apa karakter robbani dan unggul itu. Ajaran kita hanya mengambang dalam kata-kata yang kosong. Apalagi, jika ternyata kita sendiri malah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan yang kita ajarakan.
Maka, jika kita dapati anak-anak didik kita hari ini sulit mematuhi dan mengamalkan apa yang kita ajarkan, jangan buru-buru salahkan mereka. Mari, kita lihat diri kita sendiri. Jangan-jangan, kitalah penyebab kebuntuan proses belajar mereka. Jangan-jangan, kitalah yang membuat mereka tidak percaya pada segala yang kita katakan. Astaghfirulloh wa a’udzubillaahi min dzaalik.
Kita, orang beriman, sepakat bahwa segala sesuatu yang keluar dari pribadi Rosul adalah kebaikan. Baik perkataan, perbuatan, gerak-gerik, bahkan diamnya beliau, semua adalah ilmu. Rosul adalah manusia terbaik, dan guru terbaik. Metode beliau pasti yang paling baik. Sejarah sudah membuktikannya, bahkan Alloh pun memujinya. Jadi, kapan kita akan benar-benar kembali pada metode beliau shollalloohu ‘alaihi was salam…? Semoga Alloh limpahi kita semua dengan kemudahan, kekuatan, dan keistiqomahan meneladani Rosululloh dan menjadi qudwah bagi anak-anak kita hari ini. Aamiin. (teks & foto: Joko)
sumber : http://demuttaqin.or.id/?p=277

DISIPLIN

Juni 21, 2017 0 Comments

Disiplin dengan Bentakan?
Sebagai guru, kita tentu senang melihat murid-murid kita bersikap dan berperilaku tertib. Tertib di dalam kelas, di luar kelas, dan di lingkungan manapun dia berada.
Tentu, rasanya senang sekali  melihat anak-anak tidak saling menyerobot antrian, keluar masuk kelas tanpa berisik, menghabiskan makan siang tanpa membikin ruang makan berantakan.
Kita angankan semua itu terjadi dalam kelas yang kita kelola. Sayang, lagi-lagi, mewujudkan angan-angan seperti itu tak semudah mengatakannya. Selalu ada proses yang harus dilalui. Tak jarang, proses itu sangat menguras kesabaran dan energi.
Beberapa dari kita cenderung tergesa-gesa ingin melihat anak berubah seketika. Mungkin, dorongan ini tidak kita sadari. Tapi, itu akan nampak jelas dari cara kita memperlakukan anak.
Tak ada salahnya kita coba introspeksi: seberapa sering kita membentak dan mengomeli anak dibandingkan berdialog?
Sebagian orang menganggap bentakan adalah strategi pendisiplinan yang efektif. Sebab, dalam banyak kasus, tampaknya, bentakan cukup mujarab membuat anak segera “jera”. Tampaknya begitu. Tetapi, benarkah demikian?
Mungkin kita pernah mendengar orang tua mengeluhkan anaknya yang semakin bandel. Padahal, menurut orang tua itu, dia sudah “mendisiplinkan” dengan ketat. Maksudnya, hampir tiada hari tanpa bentakan.
Apakah membentak itu salah? Daripada memperdebatkan benar salahnya, mari kita jawab pertanyaan ini.
Bisakah Anak Menangkap Pesan?
Ketika kita membentak anak, pernahkah kita menyadari tujuan kita melakukan itu? Saat anak bertingkah tidak sesuai dengan harapan kita, yang menyebabkan kita tidak nyaman, lalu kita membentaknya, apa sebenarnya fokus bentakan kita itu? Pada anaknya? Sikapnya yang kita anggap nakal? Kita bikin dia jera dengan rasa tidak nyaman karena dibentak? Kita melepaskan energi negatif sehingga plong? Yang mana…?
Ketika seorang guru membentak muridnya, kira-kira, apa yang murid itu rasakan terhadap sikap gurunya? Mungkin, murid itu akan merasa: gurunya marah. Itu membuatnya takut; membuatnya tidak nyaman. Kemarahan itu sendiri dapat ditafsirkan murid sebagai wujud sikap tidak sayang.
Meskipun kita bentak anak itu, konon, sebagai wujud kasih sayang kita padanya. Kita bentak dia agar anak tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tapi, dalam situasi hati keruh, ketakutan, dan tidak nyaman, apakah kita yakin anak dapat menangkap pesan “kasih sayang” kita dalam bentakan itu…?
Kita sering lupa, anak-anak memiliki kapasitas perasaan dan berpikirnya sendiri.
Perasaan takut, tertekan, tidak nyaman, cenderung akan memunculkan reaksi negatif. Reaksi negatif ini tidak selalu berupa perilaku agresif. Anak menarik diri dan menjadi murung juga merupakan bentuk reaksi negatif. Apalagi, jika dia menunjukkan sikap membangkang….
Tegas tak Harus Membentak
Seorang guru membentak muridnya seringkali dengan maksud ingin menunjukkan perkataan dan sikap tegas. Padahal, bentakan akan cenderung ditafsirkan sebagai amarah. Sedangkan tegas, tidak selalu berarti harus membentak. Ketegasan erat kaitannya dengan prinsip dan konsistensi.
Misalnya, kita melihat salah seorang murid kita berjoget-joget dengan gerakan yang tidak senonoh. Apa yang kita lakukan? Buru-buru membentaknya, “Jangan berjoget! Itu tidak sopan! Awas kalau kamu ulangi lagi!” Kita mengira, setelah itu, murid akan jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika dipikir-pikir, apa bedanya tindakan kita ini dengan sim salabim…?
Kira-kira, apa pesan yang akan ditangkap anak dari “pendisiplinan” model bentakan seperti itu? Mari kita coba urai satu per satu. Pertama, anak mungkin terkejut, dan mungkin takut oleh aura amarah kita. Mungkin juga dia malu dan runtuh harga dirinya, jika bentakan itu kita lakukan di hadapan teman-temannya. Kedua, anak menangkap pesan: berjoget itu tidak sopan. Tapi, apanya yang membuat joget termasuk perbuatan tidak sopan? Itu tak ada penjelasan. Ketiga, anak menangkap ancaman. Tapi, dia juga tidak tahu pasti apa yang akan menimpa dirinya jika dia mengulangi berjoget lagi. Anak tidak tahu konsekuensi ancaman itu, karena memang tidak kita jelaskan. Mungkin, anak akan menafsirkan sendiri bahwa ancaman “awas” itu berarti dia akan kena bentak jika berjoget lagi.
Sekarang, mari kita coba kita lakukan langkah pendisiplinan yang beda. Kita panggil anak yang berjoget itu. Kita ajak dia bicara empat mata secara serius. Kita tanya apa tujuan dia berjoget. Kita jelaskan bahwa berjoget seperti itu tidak sopan, sambil menunjukkan di mana letak tidak sopannya, dan apa akibat yang mungkin dapat ditimbulkannya. Kita tekankan bahwa berjoget itu dilarang. Kita sampaikan konsekuensi jika dia tetap berjoget. Kemudian, kita konsekuen dan konsisten dengan apa yang kita katakan.
Kita konsekuen dengan peringatan itu. Artinya, jika kita melarang anak berjoget, maka kita pun tidak melanggar larangan itu. Kita juga konsisten dengan konsekuensinya. Misalnya, kita katakan bahwa kalau anak masih berjoget, kita akan suruh dia push up 100 kali. Jika ternyata anak masih berjoget, maka hukuman push up 100 kali harus benar-benar ditegakkan.
Kita tak perlu membentak. Tapi, ekspresi wajah serius, sorot mata tajam, dan kata-kata yang diucapkan dengan penuh tekanan, itu justru akan lebih merasuk dalam jiwa anak. Dan yang lebih penting lagi, anak paham benar kenapa perbuatannya itu dikatakan salah. Dia tahu alasannya, dan paham konsekuensinya.
Kenapa anak-anak cenderung membangkang nasihat kita? Kenapa mereka hanya tertib ketika ada kita dan kucing-kucingan di belakang punggung kita?
Bisa jadi, bentakan-bentakan yang selama ini kita anggap sebagai nasihat dan bentuk pendisiplinan, pesannya tidak pernah benar-benar sampai pada anak. Jangan-jangan, anak hanya menangkap kemarahan kita dan membentuk persepesi bahwa kita ini guru yang galak, yang dipatuhi hanya demi tidak kena marah saja.
Addiinun Nashiihah
Mari kita renungkan kata-kata berikut.  Jika proses mengubah perilaku dari buruk menjadi beradab disebut sebagai pendidikan,  maka ad diin atau agama adalah pendidikan. Apa kata Rosululloh tentang ad diiin?
Addiinun nashiihah, addiinun nashiihah, addiinun nashiihah…. Rosul katakan bahwa agama adalah nasihat. Beliau ulang kalimat itu tiga kali. Ini menunjukkan taukid atau penekanan. Artinya, kalimat ini penting, dan harus kita perhatikan benar-benar.
Bagaimana Rosul menegakkan diinul Islam pada dada-dada sahabatnya? Mestinya, ke sanalah perhatian kita arahkan. Dengan izin Alloh, bukankah Rosul terbukti dapat menginspirasi musyrikin jahiliyah sehingga menjadi insan-insan dengan disiplin, keteraturan, dan semangat juang  yang tiada banding?
Sebaik-baik teladan adalah Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik guru adalah Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik pendidikan adalah cara pendidikan Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik lulusan, adalah lulusan madrasah Muhammad Rosululloh. Jika kita ingin melihat murid-murid kita tertib dan beradab, kenapa tidak berusaha menggali ilmu tarbiyatul aulad ala Muhammad Rosululloh…?
Nasihat ini untuk saya, dan siapa saja, yang merindukan lahirnya generasi Islam yang tertib, beradab, dan unggul. Semoga Alloh limpahi kita semangat untuk terus belajar, menggemburkan hati, dan mengasah nalar…. (teks & foto: Joko)
sumber : http://demuttaqin.or.id/?cat=13

Membajak Hati Anak

Juni 21, 2017 0 Comments

Belajar dari Dunia Pertanian
Dalam dunia pertanian, sebelum kita mulai bercocok tanam, biasanya kita bajak tanah terlebih dulu. Sebelum mulai membajak tanah, lahan yang kering itu kita aliri air terlebih dahulu. Kita airi sampai menggenang, lalu didiamkan beberapa saat hingga tanah menjadi lunak. Setelah itu, baru dibajak.
Hati anak pun demikian. Kita ingin hati anak kita gembur. Kita ingin hati anak kita mudah menyerap nasihat. Kita ingin hati anak kita lembut. Tapi, kadang, keinginan itu tak diiringi dengan ikhtiar yang tepat. Kita sering lupa menyirami dan mengairi hati anak kita.
“Ah, siapa bilang? Saya selalu memberinya nasihat setiap saat, kok….” 
“Saya bahkan mendatangkan ustadz untuk mengajari mengaji dan memberinya tausiyah setiap hari.”
“Sejak kecil, saya masukkan anak ke pesantren. Apa lagi yang kurang…?”
Ya. Mungkin, kita merasa telah cukup berikhtiar. Kita telah luangkan waktu untuk menasihati anak. Bahkan, bukan hanya sesekali. Mungkin, setiap hari. Lebih dari tiga kali sehari….
Tapi, kita perlu tahu, bahwa nasihat itu benih, bukan air. Sebelum benih ditanam, media tanamnya harus disiapkan. Misalnya, kita tanamkan nasihat agar anak senantiasa jujur. Ratusan kali kita sebar benih itu pada anak kita. Setelah sekian lama, kita kecewa melihat hasilnya. Ratusan nasihat kita seperti mati di tanah gersang; tak ada bekasnya.
“Ah, memang dasarnya dia bandel. Susah diberi nasihat!”
Selesai.
Apakah kita termasuk orang tua atas guru yang cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan  melabeli anak? Kapan kita, entah orang tua atau guru, melakukan introspeksi: jangan-jangan, ada yang salah dengan cara saya mendidik anak…?
Sekali lagi, nasihat itu benih. Sebelum benih kita tebar, kita perlu gemburkan gulu lahannya. Sebelum nasihat kita berikan, mestinya kita sirami dulu hati anak dengan kasih sayang. Kenapa kasih sayang…?
Kasih Sayang Melembutkan Hati
Mari kita perhatikan hadits riwayat Muslim dari sahabat Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu berikut. Aqro’ bin Harits pernah melihat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang mencium Hasan. Dia (Aqro’ bin Harits) lalu berkata: Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak namun aku tidak pernah mencium satupun dari mereka. Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi “.
Apa yang akan kita lakukan jika ibu kita yang sudah tua meminta kita menuntutnya ke kamar mandi? Apakah kita akan mengabaikannya? Rasanya, kita akan buru-buru menyambut permintaan beliau dan menggandengnya dengan lemah lembut menuju kamar mandi. Kenapa? Sebab beliau ibu kita. Orang yang telah mengandung kita, bersabar terhadap segala rengekan kita, yang paling sedih ketika melihat kita susah, yang ciumannya membuat kita merasa dicintai, yang dekapannya membuat batin kita merasa tentram…. Karena sekadar menuntun ibu ke kamar mandi jelas tak sebanding dengan limpahan kasih sayang ibu pada kita.
Pada suatu hari, salah satu guru pesantren kami bercerita. Dia pernah merasa capek melihat santri yang, menurutnya, sulit diatur. Guru tersebut lalu mengumpulkan para santri dan mulai bicara. Dia tidak memberi nasihat apapun. Guru itu mengawali pembicaraan dengan meminta maaf. Dia minta maaf karena tidak dapat mendidik sebaik orang tua santri mendidik mereka. Dia minta maaf karena tidak dapat melimpahkan kasih sayang, seperti orang tua santri menyayangi mereka. Dia minta maaf atas sikapnya yang mungkin dirasa terlalu keras, dan menjelaskan bahwa semua itu dilakukan atas dorongan rasa sayangnya agar para santri bisa bersikap lebih baik. Guru itu terus meminta maaf sambil menyebut kekurangannya sebagai guru, dan menyampaikan harapan-harapannya terhadap para santri.
Suasana hening. Para santri tertunduk. Satu per satu mereka menangis. Ketika guru itu diam, giliran santrinya satu per satu minta maaf. Mereka minta maaf karena membuat gurunya susah. Bahkan, ada satu santri yang menangis sampai sesenggukan. Dia tetap duduk di halaqoh ketika teman-temannya sudah bubar. Santri itu menyampaikan pengakuan kepada sang guru atas kenakalan yang dia lakukan. Dia mengaku telah menyembunyikan peci temannya yang sempat membuat heboh….
Guru itu berhasil melelehkan kerasnya hati anak-anak. Dan yang seperti ini tidak mungkin akan terjadi tanpa ketulusan. Anak-anak sesungguhnya masih dekat dengan fitrah. Dosa mereka belum diperhitungkan dalam timbangan. Mereka jernih laksana cermin. Anak-anak memang belum sepenuhnya mampu menakar nasihat dengan nalar. Tapi, mereka cukup peka terhadap bahasa-bahasa yang menggetarkan hati.
Jika mereka tampak keruh, bisa jadi kitalah yang membuatnya keruh. Ketika mereka cenderung berbohong, jangan-jangan, kitalah yang membuat mereka takut untuk jujur. Jika nasihat kita pada mereka seperti tak berbekas, jangan-jangan kitalah yang membuat hati mereka menjadi keras. Kita yang belum sungguh-sungguh mengomunikasikan kasih sayang dengan gamblang, sehingga anak-anak tak dapat menangkapnya. Ketika anak-anak tak memiliki rasa sayang pada kita, bagaimana mereka akan menggagas dan mematuhi apa yang kita minta?
Persoalan hati juga erat kaitannya dengan hidayah dari Alloh. Mendoakan agar anak-anak dilimpahi hidayah oleh Alloh juga merupakan bentuk limpahan kasih sayang kita pada mereka. Bukankah ikhtiar terbaik seorang muslim selain bekerja adalah berdoa?
Sebelum menebar benih di hati anak, mari terlebih dulu kita airi dan membajaknya dengan kasih sayang hingga gembur. Kita pupuk dengan doa-doa yang tulus. Setelah itu, baru kita boleh berharap benih-benih nasihat yang kita sebarkan dapat  tumbuh menjadi batang yang mengakar kokoh di hati anak-anak kita. Wallohu a’lam.
sumber : http://demuttaqin.or.id/?cat=13