Rabu, 21 Juni 2017

Membajak Hati Anak


Belajar dari Dunia Pertanian
Dalam dunia pertanian, sebelum kita mulai bercocok tanam, biasanya kita bajak tanah terlebih dulu. Sebelum mulai membajak tanah, lahan yang kering itu kita aliri air terlebih dahulu. Kita airi sampai menggenang, lalu didiamkan beberapa saat hingga tanah menjadi lunak. Setelah itu, baru dibajak.
Hati anak pun demikian. Kita ingin hati anak kita gembur. Kita ingin hati anak kita mudah menyerap nasihat. Kita ingin hati anak kita lembut. Tapi, kadang, keinginan itu tak diiringi dengan ikhtiar yang tepat. Kita sering lupa menyirami dan mengairi hati anak kita.
“Ah, siapa bilang? Saya selalu memberinya nasihat setiap saat, kok….” 
“Saya bahkan mendatangkan ustadz untuk mengajari mengaji dan memberinya tausiyah setiap hari.”
“Sejak kecil, saya masukkan anak ke pesantren. Apa lagi yang kurang…?”
Ya. Mungkin, kita merasa telah cukup berikhtiar. Kita telah luangkan waktu untuk menasihati anak. Bahkan, bukan hanya sesekali. Mungkin, setiap hari. Lebih dari tiga kali sehari….
Tapi, kita perlu tahu, bahwa nasihat itu benih, bukan air. Sebelum benih ditanam, media tanamnya harus disiapkan. Misalnya, kita tanamkan nasihat agar anak senantiasa jujur. Ratusan kali kita sebar benih itu pada anak kita. Setelah sekian lama, kita kecewa melihat hasilnya. Ratusan nasihat kita seperti mati di tanah gersang; tak ada bekasnya.
“Ah, memang dasarnya dia bandel. Susah diberi nasihat!”
Selesai.
Apakah kita termasuk orang tua atas guru yang cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan  melabeli anak? Kapan kita, entah orang tua atau guru, melakukan introspeksi: jangan-jangan, ada yang salah dengan cara saya mendidik anak…?
Sekali lagi, nasihat itu benih. Sebelum benih kita tebar, kita perlu gemburkan gulu lahannya. Sebelum nasihat kita berikan, mestinya kita sirami dulu hati anak dengan kasih sayang. Kenapa kasih sayang…?
Kasih Sayang Melembutkan Hati
Mari kita perhatikan hadits riwayat Muslim dari sahabat Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu berikut. Aqro’ bin Harits pernah melihat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam sedang mencium Hasan. Dia (Aqro’ bin Harits) lalu berkata: Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak namun aku tidak pernah mencium satupun dari mereka. Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi “.
Apa yang akan kita lakukan jika ibu kita yang sudah tua meminta kita menuntutnya ke kamar mandi? Apakah kita akan mengabaikannya? Rasanya, kita akan buru-buru menyambut permintaan beliau dan menggandengnya dengan lemah lembut menuju kamar mandi. Kenapa? Sebab beliau ibu kita. Orang yang telah mengandung kita, bersabar terhadap segala rengekan kita, yang paling sedih ketika melihat kita susah, yang ciumannya membuat kita merasa dicintai, yang dekapannya membuat batin kita merasa tentram…. Karena sekadar menuntun ibu ke kamar mandi jelas tak sebanding dengan limpahan kasih sayang ibu pada kita.
Pada suatu hari, salah satu guru pesantren kami bercerita. Dia pernah merasa capek melihat santri yang, menurutnya, sulit diatur. Guru tersebut lalu mengumpulkan para santri dan mulai bicara. Dia tidak memberi nasihat apapun. Guru itu mengawali pembicaraan dengan meminta maaf. Dia minta maaf karena tidak dapat mendidik sebaik orang tua santri mendidik mereka. Dia minta maaf karena tidak dapat melimpahkan kasih sayang, seperti orang tua santri menyayangi mereka. Dia minta maaf atas sikapnya yang mungkin dirasa terlalu keras, dan menjelaskan bahwa semua itu dilakukan atas dorongan rasa sayangnya agar para santri bisa bersikap lebih baik. Guru itu terus meminta maaf sambil menyebut kekurangannya sebagai guru, dan menyampaikan harapan-harapannya terhadap para santri.
Suasana hening. Para santri tertunduk. Satu per satu mereka menangis. Ketika guru itu diam, giliran santrinya satu per satu minta maaf. Mereka minta maaf karena membuat gurunya susah. Bahkan, ada satu santri yang menangis sampai sesenggukan. Dia tetap duduk di halaqoh ketika teman-temannya sudah bubar. Santri itu menyampaikan pengakuan kepada sang guru atas kenakalan yang dia lakukan. Dia mengaku telah menyembunyikan peci temannya yang sempat membuat heboh….
Guru itu berhasil melelehkan kerasnya hati anak-anak. Dan yang seperti ini tidak mungkin akan terjadi tanpa ketulusan. Anak-anak sesungguhnya masih dekat dengan fitrah. Dosa mereka belum diperhitungkan dalam timbangan. Mereka jernih laksana cermin. Anak-anak memang belum sepenuhnya mampu menakar nasihat dengan nalar. Tapi, mereka cukup peka terhadap bahasa-bahasa yang menggetarkan hati.
Jika mereka tampak keruh, bisa jadi kitalah yang membuatnya keruh. Ketika mereka cenderung berbohong, jangan-jangan, kitalah yang membuat mereka takut untuk jujur. Jika nasihat kita pada mereka seperti tak berbekas, jangan-jangan kitalah yang membuat hati mereka menjadi keras. Kita yang belum sungguh-sungguh mengomunikasikan kasih sayang dengan gamblang, sehingga anak-anak tak dapat menangkapnya. Ketika anak-anak tak memiliki rasa sayang pada kita, bagaimana mereka akan menggagas dan mematuhi apa yang kita minta?
Persoalan hati juga erat kaitannya dengan hidayah dari Alloh. Mendoakan agar anak-anak dilimpahi hidayah oleh Alloh juga merupakan bentuk limpahan kasih sayang kita pada mereka. Bukankah ikhtiar terbaik seorang muslim selain bekerja adalah berdoa?
Sebelum menebar benih di hati anak, mari terlebih dulu kita airi dan membajaknya dengan kasih sayang hingga gembur. Kita pupuk dengan doa-doa yang tulus. Setelah itu, baru kita boleh berharap benih-benih nasihat yang kita sebarkan dapat  tumbuh menjadi batang yang mengakar kokoh di hati anak-anak kita. Wallohu a’lam.
sumber : http://demuttaqin.or.id/?cat=13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar