Rabu, 21 Juni 2017

DISIPLIN


Disiplin dengan Bentakan?
Sebagai guru, kita tentu senang melihat murid-murid kita bersikap dan berperilaku tertib. Tertib di dalam kelas, di luar kelas, dan di lingkungan manapun dia berada.
Tentu, rasanya senang sekali  melihat anak-anak tidak saling menyerobot antrian, keluar masuk kelas tanpa berisik, menghabiskan makan siang tanpa membikin ruang makan berantakan.
Kita angankan semua itu terjadi dalam kelas yang kita kelola. Sayang, lagi-lagi, mewujudkan angan-angan seperti itu tak semudah mengatakannya. Selalu ada proses yang harus dilalui. Tak jarang, proses itu sangat menguras kesabaran dan energi.
Beberapa dari kita cenderung tergesa-gesa ingin melihat anak berubah seketika. Mungkin, dorongan ini tidak kita sadari. Tapi, itu akan nampak jelas dari cara kita memperlakukan anak.
Tak ada salahnya kita coba introspeksi: seberapa sering kita membentak dan mengomeli anak dibandingkan berdialog?
Sebagian orang menganggap bentakan adalah strategi pendisiplinan yang efektif. Sebab, dalam banyak kasus, tampaknya, bentakan cukup mujarab membuat anak segera “jera”. Tampaknya begitu. Tetapi, benarkah demikian?
Mungkin kita pernah mendengar orang tua mengeluhkan anaknya yang semakin bandel. Padahal, menurut orang tua itu, dia sudah “mendisiplinkan” dengan ketat. Maksudnya, hampir tiada hari tanpa bentakan.
Apakah membentak itu salah? Daripada memperdebatkan benar salahnya, mari kita jawab pertanyaan ini.
Bisakah Anak Menangkap Pesan?
Ketika kita membentak anak, pernahkah kita menyadari tujuan kita melakukan itu? Saat anak bertingkah tidak sesuai dengan harapan kita, yang menyebabkan kita tidak nyaman, lalu kita membentaknya, apa sebenarnya fokus bentakan kita itu? Pada anaknya? Sikapnya yang kita anggap nakal? Kita bikin dia jera dengan rasa tidak nyaman karena dibentak? Kita melepaskan energi negatif sehingga plong? Yang mana…?
Ketika seorang guru membentak muridnya, kira-kira, apa yang murid itu rasakan terhadap sikap gurunya? Mungkin, murid itu akan merasa: gurunya marah. Itu membuatnya takut; membuatnya tidak nyaman. Kemarahan itu sendiri dapat ditafsirkan murid sebagai wujud sikap tidak sayang.
Meskipun kita bentak anak itu, konon, sebagai wujud kasih sayang kita padanya. Kita bentak dia agar anak tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tapi, dalam situasi hati keruh, ketakutan, dan tidak nyaman, apakah kita yakin anak dapat menangkap pesan “kasih sayang” kita dalam bentakan itu…?
Kita sering lupa, anak-anak memiliki kapasitas perasaan dan berpikirnya sendiri.
Perasaan takut, tertekan, tidak nyaman, cenderung akan memunculkan reaksi negatif. Reaksi negatif ini tidak selalu berupa perilaku agresif. Anak menarik diri dan menjadi murung juga merupakan bentuk reaksi negatif. Apalagi, jika dia menunjukkan sikap membangkang….
Tegas tak Harus Membentak
Seorang guru membentak muridnya seringkali dengan maksud ingin menunjukkan perkataan dan sikap tegas. Padahal, bentakan akan cenderung ditafsirkan sebagai amarah. Sedangkan tegas, tidak selalu berarti harus membentak. Ketegasan erat kaitannya dengan prinsip dan konsistensi.
Misalnya, kita melihat salah seorang murid kita berjoget-joget dengan gerakan yang tidak senonoh. Apa yang kita lakukan? Buru-buru membentaknya, “Jangan berjoget! Itu tidak sopan! Awas kalau kamu ulangi lagi!” Kita mengira, setelah itu, murid akan jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika dipikir-pikir, apa bedanya tindakan kita ini dengan sim salabim…?
Kira-kira, apa pesan yang akan ditangkap anak dari “pendisiplinan” model bentakan seperti itu? Mari kita coba urai satu per satu. Pertama, anak mungkin terkejut, dan mungkin takut oleh aura amarah kita. Mungkin juga dia malu dan runtuh harga dirinya, jika bentakan itu kita lakukan di hadapan teman-temannya. Kedua, anak menangkap pesan: berjoget itu tidak sopan. Tapi, apanya yang membuat joget termasuk perbuatan tidak sopan? Itu tak ada penjelasan. Ketiga, anak menangkap ancaman. Tapi, dia juga tidak tahu pasti apa yang akan menimpa dirinya jika dia mengulangi berjoget lagi. Anak tidak tahu konsekuensi ancaman itu, karena memang tidak kita jelaskan. Mungkin, anak akan menafsirkan sendiri bahwa ancaman “awas” itu berarti dia akan kena bentak jika berjoget lagi.
Sekarang, mari kita coba kita lakukan langkah pendisiplinan yang beda. Kita panggil anak yang berjoget itu. Kita ajak dia bicara empat mata secara serius. Kita tanya apa tujuan dia berjoget. Kita jelaskan bahwa berjoget seperti itu tidak sopan, sambil menunjukkan di mana letak tidak sopannya, dan apa akibat yang mungkin dapat ditimbulkannya. Kita tekankan bahwa berjoget itu dilarang. Kita sampaikan konsekuensi jika dia tetap berjoget. Kemudian, kita konsekuen dan konsisten dengan apa yang kita katakan.
Kita konsekuen dengan peringatan itu. Artinya, jika kita melarang anak berjoget, maka kita pun tidak melanggar larangan itu. Kita juga konsisten dengan konsekuensinya. Misalnya, kita katakan bahwa kalau anak masih berjoget, kita akan suruh dia push up 100 kali. Jika ternyata anak masih berjoget, maka hukuman push up 100 kali harus benar-benar ditegakkan.
Kita tak perlu membentak. Tapi, ekspresi wajah serius, sorot mata tajam, dan kata-kata yang diucapkan dengan penuh tekanan, itu justru akan lebih merasuk dalam jiwa anak. Dan yang lebih penting lagi, anak paham benar kenapa perbuatannya itu dikatakan salah. Dia tahu alasannya, dan paham konsekuensinya.
Kenapa anak-anak cenderung membangkang nasihat kita? Kenapa mereka hanya tertib ketika ada kita dan kucing-kucingan di belakang punggung kita?
Bisa jadi, bentakan-bentakan yang selama ini kita anggap sebagai nasihat dan bentuk pendisiplinan, pesannya tidak pernah benar-benar sampai pada anak. Jangan-jangan, anak hanya menangkap kemarahan kita dan membentuk persepesi bahwa kita ini guru yang galak, yang dipatuhi hanya demi tidak kena marah saja.
Addiinun Nashiihah
Mari kita renungkan kata-kata berikut.  Jika proses mengubah perilaku dari buruk menjadi beradab disebut sebagai pendidikan,  maka ad diin atau agama adalah pendidikan. Apa kata Rosululloh tentang ad diiin?
Addiinun nashiihah, addiinun nashiihah, addiinun nashiihah…. Rosul katakan bahwa agama adalah nasihat. Beliau ulang kalimat itu tiga kali. Ini menunjukkan taukid atau penekanan. Artinya, kalimat ini penting, dan harus kita perhatikan benar-benar.
Bagaimana Rosul menegakkan diinul Islam pada dada-dada sahabatnya? Mestinya, ke sanalah perhatian kita arahkan. Dengan izin Alloh, bukankah Rosul terbukti dapat menginspirasi musyrikin jahiliyah sehingga menjadi insan-insan dengan disiplin, keteraturan, dan semangat juang  yang tiada banding?
Sebaik-baik teladan adalah Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik guru adalah Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik pendidikan adalah cara pendidikan Muhammad Rosululloh. Sebaik-baik lulusan, adalah lulusan madrasah Muhammad Rosululloh. Jika kita ingin melihat murid-murid kita tertib dan beradab, kenapa tidak berusaha menggali ilmu tarbiyatul aulad ala Muhammad Rosululloh…?
Nasihat ini untuk saya, dan siapa saja, yang merindukan lahirnya generasi Islam yang tertib, beradab, dan unggul. Semoga Alloh limpahi kita semangat untuk terus belajar, menggemburkan hati, dan mengasah nalar…. (teks & foto: Joko)
sumber : http://demuttaqin.or.id/?cat=13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar