Betapa tenteram dan nyamannya hidup
ini jikalau di dalam hati tidak memiliki perasaan berharap kepada manusia.
Setiap langkah yang terayun, keringat yang menetes, bahkan tenaga dan pikiran
yang dikeluarkan adalah dalam rangka mempersembahkan yang terbaik agar Alloh
suka dan cinta. Betapa bebasnya hidup ini jikalau hati tak terikat oleh
makhluk. Setiap hari bebas dari memikirkannya, bebas menentukan arah yang
diinginkan, dan yang terpenting adalah terbebas dari “perbudakan”. Benar-benar bahagia
seperti burung yang terbang di udara atau ikan yang berenang di lautan.
Tahukah kita, ternyata hal yang sering
membuat kita sakit hati bukanlah hujatan atau makian orang lain kepada kita,
tetapi karena adanya perasaan ingin dipuji, dihargai, dan dicintai oleh manusia
yang menyesaki ruang hati kita. Betapa lelahnya orang yang hidup seperti ini,
dia akan rela mengerahkan segenap daya dan upaya yang dimilikinya hanya agar
orang lain memuji atau memberi penghargaan kepadanya. Fikirannya terlalu fokus
pada penilaian manusia sampai-sampai melupakan, bahkan menghilangkan kedudukan
Alloh di hatinya. Miris sekali rasanya.
Sungguh, semua pandangan dan
penilaian dari manusia tidak akan kekal, hanya sebentar, lalu buyar. Memang, pada
awalnya, orang yang telah sukses membuat orang lain memujinya, dia akan
merasakan kebahagiaan yang besar, seakan-akan dia adalah orang yang paling
hebat. Tetapi, ternyata semua anggapan itu tak sepenuhnya benar. Kebahagiaan
yang dirasakannya semu dan tak akan lama. Semu karena sebenarnya penghargaan
manusia itu tipuan yang bisa membuat terlena jika tak pandai menyikapinya. Penghargaan-penghargaan
manusia pun hanya sebentar seperti ember yang jatuh, “gubrak!!” lalu selesai.
Tidak dilarang merasa bahagia
dengan pujian atau penghargaan semacamnya dari manusia. Tapi yang perlu
diperhatikan adalah cara kita menyikapinya. Jikalau kita menyikapinya dengan
bangga diri, atau sombong, maka itulah yang tak diperbolehkan. Misalnya, ketika
ada orang yang diwisuda dengan memakai pakaian toga, lalu ada yang memuji, “Bro, sumpah lo keren banget hari ini.
Gagah..”. lalu, kita menanggapinya, “Ah, biasa ini mah. Emang dasarnya gue udah
keren kali..” atau “Weits, gue gitu loh. Kerja keras gue nih..”
atau malah seperti ini, “Ya iyalah. Emang lo, dari dulu sampe
sekarang ga lulus-lulus? Haha.. –tertawa sambil megang perut-” Ini yang
salah. Alangkah baiknya jika menanggapi pujian tadi dengan kata-kata seperti
ini, “Masa?
Ah,ini kan juga karena bantuan lo bro..” atau “Oh gitu ya? Alhamdulillaah, ini
hadiah dari Alloh atas usaha dan doa gue selama ini. Biasa aja, jangan terlalu belebihan memuji gue”
atau seperti ini, “Alhamdulillaah. Lo kalo berada posisi kayak gue juga keliatan keren
ko. Semoga hati gue lebih keren daripada tampilan luar gue”.
Terlihat sangat kontras dua macam
tanggapan di atas. Tanggapan yang pertama sampai tiga bernadakan kesombongan, bangga
diri, dan yang lebih parah adalah tak bersyukur. Menganggap bahwa yang ada pada
dirinya saat itu adalah buah dari kerjakerasnya selama ini, tak menyertakan
sedikit pun peran Alloh yang sebenarnya telah memberinya izin sehingga menjadi
seperti itu. Coba kalau Alloh tak mengizinkan? Sangat mustahil ia akan seperti
itu. sangat mudah bagi Alloh untuk menjadikannya terhina karena dicaci-maki
banyak orang.
Pada tanggapan yang empat sampai
enam, kerendahhatian begitu kental terasa. Tidak sombong, bangga diri, atau
melecehkan orang lain. Itulah sebaik-baik pribadi, atau akhlak yang mulia. Dia
menganggap bahwa dirinya bukanlah apa-apa kalau Alloh tak memberinya kesempatan
untuk seperti itu. Dia juga menganggap semuanya sebagai bentuk kasih sayang
Alloh kepada dirinya yang senantiasa berusaha dengan optimal dan
sungguh-sungguh berdoa.
Begitulah. Memang pada
hakikatnya, seseorang akan terlihat lebih berwibawa ketika mampu menyikapi
semua pemberian Alloh dengan kesyukuran. Sosoknya terlihat tenang dan mantap.
Karena ia senantiasa merasa dirinya tak punya apa-apa kecuali Alloh Yang
Memberikan, merasa bodoh kecuali Alloh Yang Mencerdaskan, merasa lemah kecuali
Alloh Yang Menguatkan, dan merasa bahwa diri kita adalah milik Alloh serta
pasti akan kembali kepadaNya. Jika perasaan-perasaan tersebut menguasai hati,
maka bersiaplah untuk menjadi pribadi yang menyenangkan, yang kehadirannya
dirindukan, baik oleh manusia, malaikat, dan bahkan Alloh Yang Maha Pemurah.
Hamba Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar